DEFINISI
Schermerhorn
(1993) memberi definisi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan sebagai
suatu kepedulian organisasi bisnis untuk bertindak dengan cara-cara mereka
sendiri dalam melayanai kepentingan organisasi dan kepentingan public
eksternal.
Secara
konseptual, TSP adalah pendekatan dimana perusahaan mengintegarasikan
kepedulian sosial dalam operasi bisnis dan interaksi mereka dengan para
pemangku kepentingan ( stakeholders ) berdasarkan prinsip kesukarelaan dan
kemitraan. ( Nuryana, 2005 ). Meskipun sesungguhnya memiliki pendekatan yang
relative berbeda, beberapa nama lain yang memiliki kemiripan atau bahkan
identik dengan TSP antara lain, Investasi Sosial Perusahaan( corporate social Investment/investing),
pemberian perusahaan ( Corporate Giving),
kedermawanan Perusahaan ( Corporate
Philantropy ).
Secara
teoretis, berbicara mengenai tanggung jawab yang harus dilaksanakan oleh
perusahaan, maka setidaknya akan menyinggung 2 makna, yakni tanggung jawab
dalam makna responsibility atau
tanggung jawab moral atau etis, dan tanggung jawab dalam makna liability atau tanggung jawab yuridis
atau hukum.
- Konsep Tanggung Jawab dalam Makna Responsibility
Burhanuddin
Salam, dalam bukunya “Etika Sosial”, memberikan pengertian bahwa responsibility
is having the character of a free moral agent; capable of determining one’s
acts; capable deterred by consideration of sanction or consequences. (Tanggung
jawab itu memiliki karakter agen yang bebas moral; mampu menentukan tindakan
seseorang; mampu ditentukan oleh sanki/hukuman atau konsekuensi). Setidaknya
dari pengertian tersebut, dapat kita ambil 2 kesimpulan : a)harus ada
kesanggupan untuk menetapkan suatu perbuatan; dan b)harus ada kesanggupan untuk
memikul resiko atas suatu perbuatan. Kemudian, kata tanggung jawab sendiri
memiliki 3 unsur : 1)Kesadaran (awareness). Berarti tahu, mengetahui, mengenal.
Dengan kata lain, seseorang(baca : perusahaan) baru dapat dimintai
pertanggungjawaban, bila yang bersangkutan sadar tentang apa yang dilakukannya;
2)Kecintaan atau kesukaan (affiction). Berarti suka, menimbulkan rasa
kepatuhan, kerelaan dan kesediaan berkorban. Rasa cinta timbul atas dasar
kesadaran, apabila tidak ada kesadaran berarti rasa kecintaan tersebut tidak
akan muncul. Jadi cinta timbul atas dasar kesadaran, atas kesadaran inilah
lahirnya rasa tanggung jawab; 3)Keberanian (bravery). Berarti suatu rasa yang
didorong oleh rasa keikhlasan, tidak ragu-ragu dan tidak takut dengan segala
rintangan. Jadi pada prinsipnya tanggung jawab dalam arti responsibility lebih menekankan pada suatu perbuatan yang harus
atau wajib dilakukan secara sadar dan siap untuk menanggung segala resiko dan
atau konsekuensi apapun dari perbuatan yang didasarkan atas moral tersebut.
Dengan kata lain responsibility
merupakan tanggung jawab dalam arti sempit yaitu tanggung yang hanya disertai
sanksi moral. Sehingga tidak salah apabila pemahaman sebagian pelaku dan atau
perusahaan terhadap CSR hanya sebatas tanggung jawab moral yang mereka wujudkan
dalam bentuk philanthropy maupun charity.
- Konsep Tanggung Jawab dalam Makna Liability
Berbicara
tanggung jawab dalam makna liability, berarti berbicara tanggung jawab dalam
ranah hukum, dan biasanya diwujudkan dalam bentuk tanggung jawab keperdataan.
Dalam hukum keperdataan, prinsip-prinsip tanggung jawab dapat dibedakan sebagai
berikut : 1)Prinsip tanggung jawab berdasarkan adanya unsure kesalahan
(liability based on fault); 2)Prinsip tanggung jawab berdasarkan
praduga(presumption of liability); 3)Prinsip tanggung jawab mutlak (absolute
liability or strict liability). Selain ketiga hal tersebut, masih ada lagi
khusus dalam gugatan keperdataan yang berkaitan dengan hukum lingkungan ada
beberapa teori tanggung jawab lainnya yang dapat dijadikan acuan, yakni :
1)Market share liability; 2)Risk contribution; 3)Concert of action;
4)Alternative liability; 5)Enterprise liability. Berdasarkan uraian tersebut,
dapat disimpulkan perbedaan antara tanggung jawab dalam makna responsibility
dengan tanggung jawab dalam makna liability pada hakekatnya hanya terletak pada
sumber pengaturannya. Jika tanggung jawab itu belum ada pengaturannya secara
eksplisit dalam suatu norma hukum, maka termasuk dalam makna responsibility,
dan sebaliknya, jika tanggung jawab itu telah diatur di dalam norma hukum, maka
termasuk dalam makna liability
Munculnya Konsep
TSP didorong oleh terjadinya Kecenderungan pada masyarakat industri yang dapat
disingkat dengan fenomena DEAF (yang dalam bahasa inggris berarti Tuli), sebuah
akronim dari Dehumanisasi, Equalisasi, Aquariumisasi, dan Feminisasi ( Suharto, 2005)
- Dehumanisas industry. Efisien dan mekanisasi yang semakin menguat di dunia industri telah menciptakan persoalan-persoalan kemanusiaan baik bagi kalangan buruh di perusahaan tersebut, maupun bagi masyarakat di sekitar perusahaan. “Merger mania” dan perampingan perusahaan telah menimbulkan gelombang Pemutusan Hubungan Kerja dan pengangguran, ekspansi dan eksploitasi dunia industri telah melahirkan polusi dan kerusakan lingkungan yang hebat.
- Equalisasi hak-hak publik. Masyarakat kini semakin sadar akan haknya untuk meminta pertanggungjawaban perusahaaan atas berbagai masalah sosial yang sering kali ditimbulkan oleh beroperasinya perusahaan. Kesadaran ini semakin menuntut akuntabilitas (accountability) perusahaan bukan saja dalam proses produksi, melainkan pula dalam kaitannya dengan kepedulian perusahaan terhadap berbagai dampak sosial yang ditimbulkannya.
- Aquariumisasi dunia industri. Dunia kerja ini semakin transparan dan terbuka laksana sebuah akuarium .Perusahaan yang hanya memburu rente ekonomi dan cenderung mengabaikan hokum, prinsip, etis,dan, filantropis tidak akan mendapat dukungan publik. Bahkan dalam banyak kasus, masyarakat menuntut agar perusahaan seperti ini di tutup.
- Feminisasi dunia kerja. Semakin banyaknya wanita yang bekerja semakin menuntut dunia perusahaan, bukan saja terhadap lingkungan internal organisasi, seperti pemberian cuti hamil dan melahirkan, kesehatan dan keselamatan kerja, melainkan pula terhadap timbulnya biaya-biaya sosial, seperti penelantaran anak, kenakalan remaja akibat berkurangnya kehadiran ibu-ibu dirumah dan tentunya dilingkungan masyarakat. Pelayanan sosial seperti perawatan anak (child care), pendirian fasilitas pendidikan dan kesehatan bagi anak-anak, atau pusat-pusat kegiatan olah raga dan rekreasi bagi remaja bisa merupakan sebuah “kompensasi” sosial terhadap isu ini.
Sebagaimana dinyatakan Porter dan Kramer (2002)
diatas, Pendapat yang menyatakan bahwa tujuan ekonomi dan sosial adalah
terpisah dan bertentangan adalah pandangan yang keliru. Perusahaan tidak
berfungsi secara terpisah dari masyarakat sekitarnya. Oleh karena itu Piramida
Tanggungjawab Sosial Perusahaan yang dikemukakan oleh Archie B. Carrol harus
dipahami sebagai satu kesatuan. Karenanya secara konseptual, TSP merupakan
Keedulian perusahaan yang didasari 3
prinsip dasar yang dikenal dengan istilah Triple Bottom Lines yaiu,
3P :
- Profit, perusahaan tetap harus berorientasi untuk mencari keuntungan ekonomi yang memungkinkan untuk terus beroperasi dan berkembang.
- People, Perusahaan harus memiliki kepedulian terhadap kesejahteraan manusia. Beberapa perusahaan mengembangkan program CSR seperti pemberian beasiswa bagi pelajar sekitar perusahaan, pendirian sarana pendidikan dan kesehatan, penguatan kapasitas ekonomi lokal, dan bahkan ada perusahaan yang merancang berbagai skema perlindungan sosial bagi warga setempat
- Plannet, Perusahaan peduli terhadap lingkunga hidup dan berkelanjutan keragaman hayati. Beberapa program TSP yan berpijak pada prinsip ini biasanay berupa penghijaunan lingkungan hidup, penyediaan sarana air bersih, perbaikan permukiman, pengembangan pariwisata (ekoturisme ) dll.
Secara Tradisional,
para teoritisi maupun pelaku bisnis
memiliki interprestasi yang keliru mengenai keuntungan ekonomi perusahaan. Pada umumnya mereka berpendapat mencari laba
adalah hal yang harus diutamakan dalam perusahaan. Diluar mencari laba
hanya akan menggangu efisiensi dan efektifitas perusahaan. Karena seperti yang
dinyatakan Milton Friedman, Tanggungjawab Sosial Perusahaan tiada lain dan
harus merupakan usaha mencari laba itu sendiri ( Saidi dan Abidan (2004:60)
Pembangunan Berkelanjutan
(Sustainability development) dapat juga berarti menjaga pertumbuhan jumlah
penduduk yang tetap sepadan dengan kapasitas produksi sesuai dengan daya dukung
lingkungan. Dengan demikian pembangunan berkelanjutan merupakan integrasi dari
cita ideal untuk memenuhi kebutuhan generasi kini secara merata (intra-generational
equity), hal ini menentukan tujuan pembangunan, dan memenuhi kebutuhan
generasi kini dan generasi mendatang secara adil (inter-generational equity)
menentukan tujuan kesinambungan.
Pembangunan berkelanjutan sebagai sarana untuk menjaga keseimbangan antara jumlah penduduk
dan kemampuan produksi sesuai daya dukung lingkungan mengindikasikan adanya
keterbatasan sumber daya yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan dan persyaratan
keseimbangan dalam pelaksanaan pembangunan untuk mencapai kondisi kesinambungan
yang akan berubah sesuai situasi dan kondisi serta waktu. Pada intinya
pembangunan berkelanjutan memiliki dua unsur pokok yaitu kebutuhan yang wajib
dipenuhi terutama bagi kaum miskin, dan kedua adanya keterbatasan sumber daya
dan teknologi serta kemampuan organisasi sosial dalam memanfaatkan lingkungan
untuk memenuhi kebutuhan masa kini dan masa mendatang. Untuk itu Komisi
Brandtland memberikan usulan penting dalam pembangunan berkelanjutan yaitu
adanya keterpaduan konsep politik untuk melakukan perubahan yang mencakup
berbagai masalah baik sosial, ekonomi maupun lingkungan. Pembangunan
berkelanjutan perlu dilakukan karena dorongan berbagai hal, salah satunya
adalah kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh pelaksanaan pembangunan.
Pengalaman negara maju dan negara berkembang menunjukkan bahwa pembangunan
selain mendorong kemajuan juga menyebabkan kemunduran karena dapat
mengakibatkan kondisi lingkungan rusak sehingga tidak lagi dapat mendukung
pembangunan. Pelaksanaan pembangunan akan berhasil baik apabila didukung oleh
lingkungan (sumber daya alam) secara memadai.
Penerapan
TSP di Indonesia semakin meningkat, baik dalam kuantitas maupun kualitas. Selain keragaman kegiatan dan
pengelolaannya semakin bervariasi, dilihat dari kontribusi finansial,
jumlahnaya semakin besar. Penelitian PIRAC pada tahun 2001 menunjukkan bahwa
Dana TSP di Indonesia mencapai lebih dari 115 miliar rupiah atau sekitar 11,5
juta dolar AS dari 180 Perusahaan yang dibelanjakan untuk 279 kegiatan sosial
yang terekam oleh media masa. Meskipun dana ini masih sangat kecil jika
dibandingkan dengan dana TSP di Amerika Serikat, dilihat dari angka kumulaitif
tersebut, perkembangan TSP di Indonesia cukup menggembirakan. Angka rata-rata
perusahaan yang menyumbangkan dana bagi kegiatan TSP adalah sekitar 640 juta
rupiah atau sekitar 413 juta per kegiatan. Sebagai perbandingan, di AS porsi
sumbangan dana TSP pada atahun 1998 mencapai 21,51 miliar dollar dan tahun 2000
mencapai 203 miliar dollar atau sekitar 2.030 triliun rupiah ( Saidi dan Abidin, 2004:64).
Pada bulan September 2004, ISO (International
Organization for Standardization) sebagai
induk organisasi standarisasi
internasional, berinisiatif mengundang
berbagai pihak untuk membentuk
tim (working group)
yang membidani lahirnya
panduan dan standarisasi untuk
tanggung jawab sosial
yang diberi nama
ISO 26000: Guidance Standard on Social
Responsibility. ISO 26000 menyediakan
standar pedoman yang
bersifat sukarela mengenai tanggung tanggung
jawab sosial suatu
institusi yang mencakup
semua sektor badan publik ataupun badan privat
baik di negara berkembang maupun negara maju. Dengan Iso 26000 ini akan
memberikan tambahan nilai terhadap aktivitas tanggung jawab sosial yang
berkembang saat ini dengan cara:
1)mengembangkan suatu konsensus terhadap pengertian tanggung
jawab sosial dan
isunya; 2) menyediakan
pedoman tentang penterjemahan prinsip-prinsip menjadi kegiatan-kegiatan yang
efektif; dan 3)
memilah praktek-praktek
terbaik yang sudah
berkembang dan disebarluaskan untuk
kebaikan komunitas atau masyarakat internasional.
Apabila hendak
menganut pemahaman yang digunakan oleh
para ahli yang menggodok ISO 26000 Guidance Standard on
Social responsibility yang secara konsisten mengembangkan tanggung jawab sosial
maka masalah SR akan mencakup 7 isu
pokok yaitu:
- Pengembangan Masyarakat
- Konsumen
- Praktek Kegiatan Institusi yang Sehat
- Lingkungan
- Ketenagakerjaan
- Hak asasi manusia
- Organizational Governance (governance organisasi)
ISO 26000
menerjemahkan tanggung jawab sosial sebagai tanggung jawab suatu
organisasi atas dampak
dari keputusan dan
aktivitasnya terhadap masyarakat
dan lingkungan, melalui perilaku yang transparan dan etis, yang:
Konsisten dengan
pembangunan berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat; Memperhatikan
kepentingan dari para stakeholder; Sesuai hukum yang berlaku dan konsisten
dengan norma-norma internasional; Terintegrasi
di seluruh aktivitas
organisasi, dalam pengertian
ini meliputi baik kegiatan, produk maupun jasa.
Berdasarkan
konsep ISO 26000,
penerapan sosial responsibility hendaknya terintegrasi di
seluruh aktivitas organisasi
yang mencakup 7 isu
pokok diatas. Dengan demikian jika suatu perusahaan hanya
memperhatikan isu tertentu saja, misalnya suatu perusahaan sangat peduli terhadap isu lingkungan, namun perusahaan tersebut masih mengiklankan penerimaan
pegawai dengan menyebutkan
secara khusus kebutuhan pegawai sesuai
dengan gender tertentu,
maka sesuai dengan
konsep ISO 26000 perusahaan tersebut
sesungguhnya belum melaksanakan
tanggung jawab sosialnya secara utuh.
Referensi
:
Joko
Setiawan dkk, 2010, Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial Bandung
Wahyudi,
Isa & Busyra Azheri. 2008. Corporate
Social Responsibility : Prinsip, Pengaturan dan Implementasi. Malang :
Inspire.
Suharto,
Edi, Ph.D, 2007, Pekerjaan Sosial di
Dunia Industri: Memperkuat Tanggungjawab Sosial Perusahaan. Bandung :
Refika Aditama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar