contoh kasus
Investigasi Reuters mengungkap skandal pajak Perusahaan kopi A
di Inggris. Setahun lalu , keberadaan Perusahaan kopi A di Inggris mendapat
sorotan tajam. Sejumlah kedai kopi milik perusahaan kopi multinasional asal
Amerika Serikat itu didemo para aktivis. Sebab Perusahaan kopi A ketahuan tidak
membayar pajak selama tiga tahun, meski terus mengeruk keuntungan.
Kasus yang
membuat publik Inggris, termasuk para anggota parlemen, mencak-mencak itu
bermula pada Oktober lalu. Ketika itu, kantor berita Reuters menurunkan laporan
investigasi yang mengungkapkan, banyak kontradiksi antara laporan petinggi Perusahaan
kopi A kepada otoritas pajak Inggris dan kepada investornya di Amerika Serikat.
Perusahaan kopi A kebetulan terdaftar di Bursa Nasdaq.
Laporan
kepada petugas pajak Inggris, Perusahaan kopi A mengklaim bisnis mereka di
Inggris rugi gila-gilaan. Pada 2008, misalnya, mereka mengaku rugi sampai 26
juta poundsterling, lalu kembali rugi 52 juta poundsterling pada 2009, dan rugi
lagi sampai 34 juta poundsterling pada 2010. Total selama tiga tahun itu,
kerugian yang dilaporkan Perusahaan kopi A mencapai 112 juta poundsterling atau
setara dengan Rp 1,7 trilyun.
Klaim
merugi itu hanya akal-akalan Perusahaan kopi A. Reuters mewawancarai sampai 46
investor Perusahaan kopi A di Amerika Serikat serta para analis saham, dan
mendapati bahwa bisnis Perusahaan kopi A di Inggris justru untung besar. Selama
tiga tahun (2008-20100), Perusahaan kopi A ternyata melaporkan penjualan sampai
Rp 1,2 milyar poundsterling kepada para investornya atau setara dengan Rp 18
trilyun.
Bahkan
Chief Financial Officer (CFO) Perusahaan kopi A ketika itu, Peter Bocian,
terungkap pernah menjelaskan bahwa keuntungan dari bisnis di Inggris begitu
massif, sampai dananya dipakai untuk membiayai ekspansi Perusahaan kopi A di
negara lain.
Bagaimana
caranya hingga Perusahaan kopi A bisa memanipulasi data pajak segede itu?
Modusnya memang tidak gampang. Menurut Reuters, untuk bisa terus mengaku rugi, Perusahaan
kopi A harus bisa secara legal memindahkan keuntungan ke luar negeri. Caranya,
antara lain, dengan offshore licensing. Ini taktik yang berkaitan dengan hak
kekayaan intelektual.
Perusahaan
kopi A Inggris, misalnya, ternyata tidak memiliki hak kekayaan intelektual atas
desain, resep, atau logo Perusahaan kopi A. Hak kekayaan intelektual itu
dipegang sebuah perusahaan asal Belanda bernama Stabucks Coffee EMEA BV.
Karena
itu, tiap tahun Perusahaan kopi A Inggris mentransfer keuntungan ke Belanda
atas nama "biaya lisensi". Oleh Perusahaan kopi A Coffee EMEA BV,
pemasukan dari Inggris itu dikategorikan sebagai "royalti", yang
dikenai pajak sangat kecil berdasarkan peraturan pajak Belanda. Lucunya,
seperti diungkap Reuters, bos Perusahaan kopi A Coffee EMEA BV justru berkantor
di Inggris.
Offshore
licensing bukan satu-satunya taktik. Masih ada taktik lain yang digunakan Perusahaan
kopi A Inggris untuk membuat mereka terlihat rugi. Taktik kedua ini berkaitan
dengan pembelian biji kopi. Dari mana Perusahaan kopi A Inggris membeli biji
kopi?
Menurut
penjelasan mereka, Perusahaan kopi A Inggris membeli biji kopi dari sebuah unit
Perusahaan kopi A lain yang berkantor di Swiss. Karena itu, tiap tahun mereka
mentransfer banyak uang ke cabang Swiss untuk "biaya pembelian". Oleh
unit Perusahaan kopi A Swiss, uang itu dikategorikan sebagai "penjualan
komoditas", yang berdasarkan peraturan pajak Swiss hanya dikenai pajak 2%.
Namun dua
taktik itu belum cukup. Taktik terakhir yang membuat Perusahaan kopi A Inggris
benar-benar terlihat rugi (bahkan seperti hampir bangkrut) adalah utang
antarcabang. Ini taktik yang secara hukum sangat sulit dibuktikan kebenarannya.
Tapi taktik ini efektif untuk membuat sebuah perusahaan terlihat hampir
bangkrut.
Dalam
kasus Perusahaan kopi A, ternyata Perusahaan kopi A Inggris dibiayai sepenuhnya
dari utang cabang lain. Padahal, Perusahaan kopi A mengoperasikan hampir 800
gerai di seluruh Inggris. Selain itu, berbeda dari bisnis kebanyakan, Perusahaan
kopi A tidak diwaralabakan.
Perusahaan
kopi A Inggris berada dibawah kendali kantor regional Perusahaan kopi A di
Belanda. Karena itu, utang Perusahaan kopi A Inggris pun jadi sangat massif.
Belum lagi, menurut Reuters, bunga yang dibebankan untuk pembayaran cicilan
utang itu relatif tinggi. Oleh sebab itu, akuntansi Perusahaan kopi A Inggris
selalu rugi.
Memang
banyak spekulasi bahwa utang itu hanya akal-akalan. Sebab utang antarcabang,
membeli biji kopi dari Swiss, lalu membayar biaya lisensi ke Belanda bermuara
ke satu hal: larinya uang hasil penjualan dari Inggris ke luar negeri.
***
Liputan
Reuters tentang Perusahaan kopi A pun segera disambar parlemen Inggris.
Apalagi, pada saat hampir bersamaan, dua perusahaan multinasional lain, yakni
Google dan Amazon, terungkap melakukan praktek serupa. Kecurangan Google untuk
menghindari pajak diungkap kantor berita Bloomberg, November lalu. Seperti Perusahaan
kopi A, Google juga ketahuan melarikan uang dari keuntungan iklan mereka di
Inggris (Google.co.uk).
Taktiknya
pun lebih-kurang mirip. Google.co.uk ternyata anak perusahaan (subsidiary) yang
menginduk ke cabang regional di Irlandia. Karena itu, keuntungan dari
Google.co.uk ditransfer ke Irlandia. Tapi cabang Google di Irlandia ternyata
berstatus anak perusahaan pula, yang kemudian mentransfer lagi keuntungan itu
ke perusahaan lain di Belanda. Dari Belanda (yang juga berstatus anak
perusahaan), uang itu ditransfer lagi ke sebuah perusahaan induk di kawasan
Bermuda.
Di Bermuda
--yang tidak memiliki peraturan pajak korporasi-- inilah uang keuntungan dari
Google.co.uk terkumpul. Menurut penelusuran Bloomberg, dari Google.co.uk, uang
hasil iklan di Inggris itu melewati setidaknya tiga rekening perusahaan anak
(subsidiary) sebelum akhirnya sampai ke Bermuda.
Tidak
mengherankan jika Google dikecam. Apalagi, perusahaan mesin pencari ini dengan
percaya diri menjadikan tag "Don't be evil" (Jangan jahat) sebagai
moto perusahaan. Sedangkan kasus pajak Amazon diungkap koran The Guardian,
April lalu. Situs penjual buku online ini justru berbuat lebih jauh. Tidak lagi
menggunakan taktik subsidiary, Amazon memindahkan kepemilikan saham
Amazon.co.uk ke perusahaan induk bernama Amazon SARL, yang berlokasi di
Luksemburg.
Status
Amazon.co.uk jadinya hanya sebagai "divisi gudang", dengan kantor utama
di Luksemburg. "Jadi, kalau Anda membeli buku dari Amazon.co.uk, berarti
secara hukum Anda bertransaksi dengan sebuah perusahaan Luksemburg," kata
Heather Self, pakar hukum pajak dari firma hukum Pinsent Masons, seperti
dilansir BBC.
Padahal,
buku-buku yang dibeli lewat Amazon.co.uk secara fisik berada di Inggris. Tapi,
karena pengaturan itu, Amazon.co.uk hanya berstatus "lokasi gudang".
Dengan taktik ini, Amazon bisa meraup keuntungan sampai 396 juta poundsterling
(setara dengan Rp 6 trilyun), tapi membayar pajak di Inggris hanya 6 juta pound
(setara dengan Rp 93 milyar), yang berarti hanya 1,5% dari keuntungan mereka.
***
Pertengahan
November lalu, tiga petinggi perusahaan itu dipanggil ke parlemen Inggris untuk
"diinterogasi". Dengar pendapat yang dipimpin Margaret Hodge, anggota
parlemen yang mengetuai Komite Pelayanan Publik (PAC), itu mengungkap banyak
hal lucu sekaligus ironi mengenai taktik penghindaran pajak korporat besar.
CFO Perusahaan
kopi A sekarang, Troy Alstead, misalnya, mengaku bahwa biji kopi yang dibeli Perusahaan
kopi A Inggris dari unit mereka di Swiss sebenarnya tidak pernah menyentuh
tanah Swiss. Biji kopi itu dibeli dari berbagai negara, kemudian langsung
diangkut ke Inggris. Cuma, pemilik biji kopi itu secara hukum merupakan
perusahaan Swiss.
Sedangkan
Andrew Cecil, Direktur Publik Amazon.co.uk, hanya bisa tergagap. Hodge --yang
beberapa kali membeli buku di Amazon.co.uk-- bertanya, "Kapan buku yang
saya beli pernah mampir ke Luksemburg?" Bahkan, dalam dengar pendapat yang
disiarkan BBC itu, sejumlah anggota parlemen sempat marah ketika Cecil mengaku
tidak tahu siapa yang memegang saham di Amazon SARL Luksemburg. Padahal, ke
rekening perusahaan itulah duit para pembeli buku di Inggris mengalir.
Namun
perlu ditegaskan, berbagai modus penghindaran pajak yang dilakukan tiga
korporasi multinasional itu tidak berarti melanggar hukum. Sebab mereka hanya
mengeksploitasi celah peraturan yang ada. Untuk membuktikan telah terjadi
pelanggaran, dibutuhkan penyelidikan --sekaligus pembuktian-- yang lebih rumit.
Sayangnya,
justru di situlah masalahnya. Menurut The Guardian, penghindaran pajak biasanya
praktek yang dilakukan secara hati-hati dan dibuat agar tidak melanggar hukum
positif yang berlaku. Prinsipnya adalah mengeksploitasi kelemahan sistem, bukan
melanggar.
Hodge juga
menyadari hal itu. Karena itu, dalam interogasinya terhadap tiga petinggi
korporasi multinasional itu, sejak awal dia menegaskan, "Kami tidak
menuduh Anda melanggar hukum. Tapi kami menuduh Anda telah berbuat
amoral," katanya.
***
Seharusnya
pajak sebuah perusahaan memang dikeluarkan di wilayah tempat terjadinya
aktivitas ekonomi tersebut. Baik Perusahaan kopi A, Amazon.co.uk, maupun
Google.co.uk sama-sama meraup banyak uang dari aktivitas ekonomi mereka di
Inggris. Karena itu, pajak mereka pun harus dibayar di Inggris.
Tapi
logika ini, sayangnya, seringkali tidak berlaku bagi korporasi multinasional
yang beroperasi di banyak negara. Sumber daya yang dimiliki para korporat itu
membuat mereka memindahkan uang antarnegara dengan mudah.
Setelah
kasus ini merebak, Perusahaan kopi A yang gerainya beberapa kali didemo para
aktivis akhirnya berjanji akan membayar pajak lebih besar. Apalagi,
pengungkapan kasus ini membuat citra Strabucks Inggris jadi buruk dan mendorong
dimulainya kampanye oleh para aktivis untuk tidak lagi minum kopi di gerai Perusahaan
kopi A --dan beralih ke gerai kopi lokal.
Tekanan
ini pula yang membuat Perusahaan kopi A Inggris, awal pekan lalu, akhirnya
membuat pengumuman penting. Mereka berjanji membayar pajak 20 juta
poundsterling atau setara dengan Rp 30 milyar dalam kurun waktu dua tahun.
Jumlah yang menurut Financial Times lebih-kurang setara dengan pendapatan
mereka di Inggris selama satu bulan.
Tapi
kesediaan Perusahaan kopi A Inggris membayar pajak sampai 20 juta poundsterling
itu justru dianggap sebagai penghinaan. Sebab besaran pajak seharusnya dihitung
berdasarkan kewajiban dan peraturan yang pasti, bukan berdasarkan kesukarelaan
si wajib pajak.
Berjanji
membayar pajak sampai 20 juta poundsterling, Perusahaan kopi A sama saja
menunjukkan betapa lemahnya aturan perpajakan Inggris hingga mereka sendiri
yang harus menentukan berapa jumlah pajak yang ideal. "Pembayaran dan
penetapan angka secara sukarela itu sama saja menghina sistem perpajakan
Inggris," kata Conor Delaney, pakar hukum pajak dari firma Milestone International
Tax Partners, seperti dilansir The Guardian.
Pihak yang paling terpukul, sekaligus paling banyak dikecam,
dari praktek penghindaran pajak ini sebenarnya bukan tiga korporasi besar itu,
melainkan Ditjen Pajak Inggris. Sebab merekalah yang bertanggung jawab
memastikan eksploitasi semacam itu tidak terjadi. Sayangnya, kasus ini
menunjukkan bahwa berhadapan dengan trik korporasi multinasional, negara
seringkali kalah.(Basfin
Siregar/dari berbagai sumber)
(Basfin Siregar)
Laporan Utama Majalah GATRA edisi 19/06, terbit Kamis, 12 Desember
2012
analisis
Etika dalam berbisnis kerap kali diabaikan oleh suatu perusahaan. Banyak
perusahaan yang ingin memperbesar keuntungannya dengan cara yg salah,
seperti memanipulasi laporan keuangan,sehingga jumlah pajak yg dbayar
tidak sesuai peraturan pemerintah. Kasus pajak seperti ini banyak kita
jumpai di dunia bisnis. Hal ini sangat merugikan negara,karena proses
pembangunan dan segala kegiatan untuk mensejahterakan masyarakat luas
akan terhambat atau tidak maksimal karna kurangnya pendapatan dari
pajak.
Kasus pajak Perusahaan kopi terkemuka di dunia itu terjadi karena kurangnya pengawasan dari pihak pemerintah Inggris. Kasus ini merupakan pelajaran bagi
Pemerintah Inggris dan pemerintah negara-negara lain untuk terus memperbaiki diri dalam sistem penarikan pajak dan pengawasan bagi perusahaan multinasional.
Kasus pajak Perusahaan kopi terkemuka di dunia itu terjadi karena kurangnya pengawasan dari pihak pemerintah Inggris. Kasus ini merupakan pelajaran bagi
Pemerintah Inggris dan pemerintah negara-negara lain untuk terus memperbaiki diri dalam sistem penarikan pajak dan pengawasan bagi perusahaan multinasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar